Latar Belakang
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas sumber daya suatu masyarakat. Kondisi kekurangan gizi pada seseorang, khususnya pada anak-anak akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreativitas, serta produktivitas penduduk (Depkes 2000). Masalah gizi kurang, terutama Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Anemia Gizi Besi (AGB), dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) merupakan masalah serius di Indonesia saat ini. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 23,5 juta anak (19,2%) mengalami gizi kurang, dan 1,5 juta anak mengalami gizi buruk (8,3%) di Indonesia.
Terdapat tiga faktor utama yang saling terkait mempengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yaitu kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan yang berkaitan dengan daya beli keluarga. Kedua, pola asuh gizi keluarga yaitu kemampuan keluarga untuk memberikan makanan kepada bayi dan anak, khususnya menyusui secara eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yaitu pemanfaatan fasilitas kesehatan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif seperti penimbangan balita di posyandu, pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan kesehatan bayi dan balita, suplementasi vitamin A dan MP ASI, imunisasi, dan sebagainya (Anonim 2007)
Masalah gizi kurang umumnya banyak diderita oleh kelompok balita usia 1-5 tahun karena pada masa tersebut mereka balita belum mampu memilih dan mengkonsumsi makanan sesuai kebutuhan tubuh (Soekirman 2001). Balita gizi kurang, khususnya gizi buruk rentan terhadap infeksi, pengurusan otot, pembengkakan hati, dan berbagai gangguan lain seperti peradangan kulit, infeksi, serta kelainan bentuk dan fungsi organ akibat pengecilan organ. Kondisi gizi kurang akan mempengaruhi banyak organ dan sistemnya karena sering disertai dengan defisiensi asupan gizi mikro dan makro yang sangat diperlukan bagi tubuh. Kondisi kekurangan gizi yang tidak ditangani lebih lanjut akan berdampak buruk terhadap perkembangan maupun pertumbuhan balita tersebut.
Mengingat dampak jangka panjang yang akan terjadi pada balita gizi buruk, maka perhatian khusus perlu diberikan untuk menghindari kondisi gizi buruk yang lebih parah lagi dan berdampak bagi kualitas sumber daya masyarakat Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu peningkatan kesadaran dan pengetahuan gizi ibu adalah melalui kegiatan konseling gizi. Konseling gizi adalah suatu proses komunikasi dua arah antara konselor dan klien untuk membantu klien mengenali dan mengatasi masalah gizi. Melalui kegiatan konseling gizi tersebut, diharapkan pengetahuan gizi ibu meningkat dan berdampak pada perbaikan status gizi balita penderita gizi buruk.Continue reading . . . .